Ashatikane
(Perjalanan Kematian)
Aku adalah seorang turis yang kebetulan berkunjung ke Jepang saat musim panas tiba. Aku pikir, Jepang adalah negara yang indah dengan beragam kebudayaan lokal yang menarik. Namun sepertinya aku harus merubah presepsi itu. Setidaknya setelah aku mengenal salahsatu permainan lokal, permainan yang tidak akan pernah aku lupakan sepanjang hidupku.
Mereka menyebutnya dengan Ashatikane, atau entahlah. Kata itu agak sulit untuk aku ucapkan, karena logat bahasa mereka yang sangat berbeda dengan bahasaku. Aku punya kenalan yang ternyata mengetahui tentang permainan ini. Menurut info darinya, permainan ini adalah salah satu permainan kuno. Nama aslinya adalah "Perjalanan Kematian". Ada garis harfiah yang tidak bisa dijelaskan oleh kenalanku itu tentang makna sebenarnya dari permainan ini
Dia menjelaskan lebih jauh. Sebenarnya Ashatikane bukanlah jenis permainan, melainkan sejenis ritual yang menjadi tradisi dibeberapa kalangan, dengan tujuan untuk bertemu dengan seseorang yang sudah meninggal. Aku tidak akan menjelaskan ini lebih jauh, namun inti dari tradisi ini adalah untuk bertemu dengan roh orang mati. Siapapun orangnya. Menurut ajaran Sinto, roh orang yang mati tidak akan langsung pergi ke alam lain, melainkan dia akan mengikuti siapapun yang dia sukai selama dunia. Aku pun tidak akan membahas ajaran Sinto lebih jauh, langsung saja aku ceritakan bagaimana semua ini terjadi padaku.
* * *
Saat itu sore hari. Aku berkunjung ke sebuah kuil di utara Tokyo. Di sana aku bertemu dengan segerombolan gadis remaja. Mereka semua terlihat sedang membicarakan sesuatu dengan nada bercanda. Aku juga masih remaja, jadi ku pikir ikut bergabung bersama mereka adalah salahsatu cara yang tepat untukku mengenal budaya Jepang lebih jauh.
Seperti kebanyakan orang jepang pernah aku temui, mereka akan memandangmu sinis, agak canggung pada awalnya, namun perlahan-lahan mereka mulai mencoba untuk akrab. Kami banyak menghabiskan waktu untuk berbicara. Mereka tampak menyenangkan, termasuk mengajakku untuk makan di sebuah kedai. Kamu bisa menemukan kedai di sepanjang jalan ataupun bawah jembatan dengan mudahnya. Kata para gadis itu kedai-kedai seperti ini adalah budaya yang sudah ada sejak jaman dulu.
Waktu semakin larut. Jadi ku pikir aku harus kembali ke Hotel. Saat itu juga aku segera berpamitan, tapi seorang gadis menghentikanku, dia mengatakan "Bukankah kamu ingin mengenal budaya jepang? ".
"Iya, tentu." sambil tersenyum, aku menjawab dengan antusias.
"Kalau begitu, kamu harus tahu. Tidak sopan meninggalkan para gadis di kedai. Dan cara berpamitan yang benar bukanlah seperti yang kamu lakukan itu."
Untuk beberapa saat, aku menangkap sirat pandangan gadis-gadis itu. Entah kenapa dari pandangannya, mereka seperti memiliki rencana untuk mengerjaiku. Namun apa dayaku, yang hanya seorang asing yang tidak mengerti kebiasaan orang-orang di sana. Jika kata mereka caraku kurang sopan, maka aku akan menganggap kalau itu memang kurang sopan. Kemudian, aku pun mulai bertanya tentang cara berpamitan yang benar menurut kebiasaan mereka.
Mereka menjelaskan, cara berpamitan yang sopan adalah dengan melakukan permainan "Ashatikane". Karena aku tidak tahu apa-apa, secara reflek aku sedikit mengangkat alisku. Seolah paham bahasa tubuhku itu, mereka langsung merespon "Ini hanya sebentar kok. Mungkin hanya sekitar 5 menit.".
Menurutku 5 menit bukanlah waktu yang lama. Jadi aku turuti saja mereka. Aku pun sebenarnya lumayan penasaran, dan ingin tahu permainan apa yang mereka maksud.
Setelah aku menyetujuinya, mereka membawaku pada sebuah jalanan yang sepi. Jalanan itu mengarah ke sebuah perempatan. Salah seorang dari mereka mengambil sebuah dasi dari tasnya, untuk nantinya diikatkan ke mataku. Gadis lainnya memberikanku sepasang sumpit. Namun sebelum mataku diikat, aku diberikan penjelasan tentang apa yang harus aku lakukan saat permainan dimulai.
Diantara mereka ada seorang gadis dengan wajah yang sangat manis dengan rambut panjangnya. "Kami biasa melakukan permainan ini untuk mengetahui seberapa tulusnya hubungan kami pada seseorang. Jadi, jika kamu memenangkan permainan ini, mungkin saja kita memang ditakdirkan untuk bersama. Mungkin teman, sahabat, atau lebih jauh dari itu.. mungkin saja kita berjodoh." kata gadis itu sambil tersenyum malu.
Mendengar perkataannya sambil melihat wajah manis itu, seketika wajahku berubah merah. Aku tersipu malu. Dan lebih malunya lagi, aku tidak dapat menyembunyikannya dari para gadis dihadapanku saat itu.
Kemudian, gadis lain memberikan penjelasan padaku, "Jadi, kamu hanya perlu berjalan lurus dengan mata tertutup menuju ke tengah perempatan itu, sambil mendentingkan sumpit yang kamu pegang. Adukan kedua sisi sumpit sampai mengeluarkan suara. Sisanya, kamu hanya perlu fokus untuk berjalan lurus. Jika kamu berhasil berjalan lurus sampai ke tengah perempatan di sana, kita akan tahu jawabannya."
Mereka mulai mengikatkan dasi itu untuk menutup mataku. Sambil tersenyum aku berfikir, berjalan lurus dengan mata tertutup adalah hal mudah. Dan mungkin nantinya aku bisa lebih dekat dengan mereka.
Tapi saat itu aku merasa ada yang aneh. Saat mereka sedang mengikatkan dasi, aku mendengar mereka bergumam sesuatu. Memang bahasa jepangku belum sempurna, tapi aku sudah mengusai bahasa sehari-hari dengan baik. Kata-kata yang mereka gumamkan tidaklah familiar. Lebih terdengar seperti sebuah doa atau mantra, namun aku tidak terlalu yakin.
Permainan pun dimulai. Mataku tertutup sangat rapat dan aku mulai berjalan. Semuanya gelap. Dan suara para gadis itu sudah tidak terdengar lagi. Suara lain pun tidak. Hanya kegelapan dan kesunyian. Di titik itu tanganku mulai gemetar karena takut. Masih memegang sumpit, aku mencoba untuk membuka ikatan dasi di mataku. Baru saja tanganku menyentuh dasi itu, tiba-tiba terdengar suara wanita yang menjerit. Suaranya seperti seorang wanita yang mencoba untuk menjerit sekeras-kerasnya. Aku sangat tersentak dan bulu kudukku mulai naik.
Saat itu aku terlalu takut untuk melepaskan dasi yang terikat dimataku. Jadi aku memutuskan untuk terus berjalan maju dan menyelesaikan semua ini. Angin dingin mulai berhembus, dan menusuk sampai ke tulang belakangku. Perlahan-lahan aku mulai mendengar suara yang muncul. Suara tawa cekikikan yang melengking, dan aku sangat yakin itu bukanlah suara dari para gadis yang aku temui. Tidak lama kemudian suara cekikikan itu mulai berubah menjadi suara jeritan dan tangisan yang sangat amat memekakan telingaku. Keberanianku lenyap. Kakiku pun mulai ikut gemetar. Aku tidak tau apa yang terjadi, tapi aku mulai merasakan kalau aku sedang berjalan ditengah-tengah keramaian.
Aku berjalan sambil tertatih. Suara-suara itu mulai bercampur. Tawa yang mengerikan, jeritan, semuanya membuat pikiranku menjadi tidak karuan. Saat aku mulai drop secara mental, tiba-tiba aku mulai merasakan sentuhan-sentuhan fisik yang menjadi puncak ketakutan selama hidupku. Aku merasakan cengkraman pada tanganku, ada yang menghempaskanku sangat keras, sesuatu mencekik leherku, sampai aku merasakan basah pada pipi-ku seakan ada yang menjilatnya. Dan yang menurutku mengerikan, setiap kali aku mencoba melawan, suara jeritan dan suara cekikikan yang aku dengar mulai bertambah keras. Seakan semua mulai mendekat. Aku merasa mulai dikelilingi dan terjebak oleh sesuatu yang aku sendiri tidak tau apa itu.
Aku mulai pasrah. Aku merasa kalau kematianku sudah dekat. Apapun itu, aku tidak bisa melawannya lagi. Tapi, dititik tertentu aku tetap berusaha melawan dengan keras untuk melepaskan dasi yang terikat di mataku. Jika aku akan mati, setidaknya aku tahu apa atau siapa yang membunuhku.
Saat seluruh tubuhku terasa seperti terkekang, tiba-tiba cengkraman di tangan kiriku terasa seperti terlepas. Secara cepat aku berusaha memanfaatkan momen itu. Aku mengangkat tangan kiriku untuk meraih dasi di mataku, namun tiba-tiba entah apapun itu, dia kembali mencengkram tanganku. Sepertinya dia berusaha menghalangi. Namun, aku kerahkan seluruh sisa tenaga yang aku punya. Sambil teriak, aku tarik tangan kiriku sekeras-kerasnya untuk melepaskan dasi.
Aku tidak percaya. Aku berhasil melepasnya. Aku membuka mata. Namun, ada yang janggal. Aku tidak melihat siapa pun, bahkan tidak melihat apapun. Hanya aku seorang diri di tengah perempatan jalan yang sepi. Tidak ada seorang pun yang melintas. Bahkan para gadis itu lenyap.
Tanpa pikir panjang, aku berlari menjauh dari tempat itu untuk menyelamatkan diri. Saat itu aku tidak berani untuk menceritakan hal ini pada siapa pun karena trauma mengerikan yang aku alami. Walaupun saat itu mataku tertutup, dan hanya dapat mendengarkan suara. Namun otakku ini mulai membayangkan bentuk dari mahluk-mahluk mengerikan itu. Namun seiring waktu berlalu, akhirnya aku mulai memberanikan diri untuk menulis kisahku ini, dan bercerita pada kenalanku saat itu.
Dia berkata kalau aku sangat beruntung saat itu. "Jika saja kamu berhasil meliatnya, mahluk itu pasti tidak akan melepaskanmu." katanya.
"Mungkin para gadis itu sengaja melakukannya hanya untuk bermain-main. Tapi, mungkin juga kalau gadis-gadis yang kamu temui saat itu adalah salah satu dari pengikut 'mereka' ".
Aku hanya ingin memberi peringatan untuk kalian. Ini aku dapat dari kenalanku itu. Jika kalian pergi ke Jepang, dan kalian mengunjungi sebuah kuil (kuil apapun itu), jangan pernah dekati para gadis yang sedang bergerombol. Karena pada umumnya para gadis di Jepang tidak suka bergerombol di area kuil.
source: creepypasta indonesia fb
improved & edited by Akira Asayami