Agustus 01, 2016

Creepypasta - The Real part 3/4

The Real (part 3/4)
creepypasta jepang, creepypasta indonesia, kumpulan creepypasta

Dikisah sebelumnya: Kondisi Tomohiko semakin memburuk dan Miss Akagi yang diharapkan ternyata tak kunjung datang. Tomohiko terpaksa menerima bantuan Ogawa dengan mendatangkan seorang paranormal bernama Hayashi untuk mengusir hantu tersebut. Namun Hayashi sendiri kewalahan dan hantu itu kembali menampakkan diri dengan wujud yang lebih mengerikan. Tomohiko kini putus asa.


- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -


         Empat hari berlalu sejak upacara pengusiran setan yang gagal itu. Leherku mulai terlihat dan terasa lebih baik. Bekas itu masih ada, namun secara fisik aku merasa lebih baik. Demamku ini sidah turun dan aku tak punya banyak hal untuk kukeluhkan sejak rasa sakit ini mulai berkurang.


         Namun kelainannya kini tidak pada tubuhku. Mentalku menurun secara drastis. Entah apakah itu siang atau malam, aku selalu khawatir bahwa hantu itu akan menampakkan diri lagi. Aku tak bisa tidur saat malam dan aku bahkan tak berselera makan. Aku selalu memeriksa apakah ada yang aneh di sekitarku. Aku tak punya waktu untuk merasa lelah ataupun lapar.


         Setelah sepuluh hari, aku memperhatikan bahwa wajahku mulai terlihat berbeda. Aku bahkan hampir tak mengenali wajahku sendiri di cermin. Kondisi mentalku yang melorot sangat terpancar dari wajah dan penampilanku. Aku benar-benar tak tahan lagi.


         Jelas, dalam kondisiku seperti saat ini, aku sudah tak ingin lagi berurusan dengan "dunia normal". Orang tuaku menghubungi perusahaan dimana aku bekerja di Tokyo dan mengatakan pada mereka bahwa aku berhenti. Saat mereka menelepon, aku melihat mereka menatapku dengan aneh. Entah, mungkin saja bosku marah mendengarnya dan mulai mengatakan hal-hal yang tidak-tidak tentang kelakuanku di tempat kerja.


         Aku merasa takut dengan apapun., bahkan gerakan batang pohon persik yang ada di luar jendelaku, mengayun ke depan ke belakang, membuatku sangat ketakutan. Kapanpun aku melihat sesuatu di sudut mataku, aku selalu bertanya apakah gerakannya maju dan mundur? Masih dua minggu lagi sebelum Miss Akagi bisa menemuiku, dan aku mulai tak sabar. Itu sangat terlalu lama, apalagi dengan kondisiku yang takut setengah mati ini.


Suatu hari, orang tuaku secara mengejutkan membawaku keluar dan memaksaku masuk ke dalam mobil. Mereka hendak membawaku ke suatu tempat.


         "Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja." kata ayahku sepanjang perjalanan. Ibuku, yang duduk di kursi belakang bersamaku, memijat bahuku dengan lembut. Aku tak ingat kapan beliau terakhir melakukannya, pasti sudah bertahun-tahun yang lalu.


         Aku tak tahu berapa lama waktu yang berlalu, namun pada suatu titik matahari terbenam dan bulan mengambil alih tahtanya di langit, berpendar bersama bintang-bintang. Walaupun aku sudah berumur lebih dari 20 tahun, aku tertidur di pangkuan ibuku. Ini pertama kalinya aku dapat tertidur nyentak setelah berhari-hari.


         Ketika aku terbangun, matahari telah naik dan aku merasa segar. Orang tuaku mengatakan bahwa satu setengah hari telah berlalu sejak kami naik ke dalam mobil ini. Aku merasakan bahwa aku mungkin takkan pernah tertidur senyenyak seperti semalam. Aku menatap keluar dan tersadar, tempat ini sepertinya tempat ini tak asing bagiku.


         Sedikit demi sedikit, aku mulai mengingat tempat ini. Aku cukup yakin kami berada di Nagasaki setelah aku melihat sebuah kereta api melintas, pemandangan yang biasa kulihat saat aku kecil saat diajak berkunjung ke rumah kakek nenekku. Aku cukup terkejut orang tuaku membawaku sejauh ini. Aku berasumsi bahwa tak mungkin membawaku naik kereta ataupun pesawat, sehingga mereka memilih membawaku dengan mobil. Mereka mengaku bahwa mereka berhenti beberapa kali sepanjang jalan untuk beristirahat, namun tetap saja ayahku tak mendapat tidur yang cukup. Ibuku tak ingin aku khawatir, karena itu dia tetap memangkuku tidur untuk membuatku tenang. Aku pikir aku takkan mampu membalas semua yang telah mereka lakukan selama dua hari terakhir ini.


         Kakek nenekku tinggal di wilayah yang bernama Yanagawa. Ketika kami tiba, kami berhenti di kaki sebuah bukit dan orang tuaku keluar dari mobil untuk berbicara dengan kakek-nenekku sebelum mereka membawaku. Mereka tinggal di atas bukit itu dan engkau perlu menapaki anak tangga dari batu untuk mencapai rumah mereka.


         Orang tuaku hanya ingin menaruh beberapa barang bawaan kami dan menjemput kakek-nenekku sebelum kami pergi menemui Miss Akagi. Aku tahu kondisiku cukup buruk ketika orang tuaku menolah bantuanku untuk membawa barang bawaan kami. Namun tetap saja, berada jauh dari Tokyo dan Saitama, dimana aku mengalami semua pengalaman mengerikan itu, membuatku merasa santai.


         Ketika aku menunggu mereka di dalam mobil, aku hanya duduk menyilangkan kakiku dan menatap keluar. Tiba-tiba saja leherku kembali terasa sakit. Rasa sakitnya amat tajam di sepanjang lingkaran di leherku. Intensitasnya yang luar biasa membuat rasa sakit yang dulu kurasakan seperti gelitikan. Tanpa berpikir, tanganku segera meraba luka di leherku tersebut dan aku merasa shock ketika menyadari bahwa luka itu basah.


Ketika aku menarik jari-jariku, aku melihat mereka berlumuran darah.


         Melihat darah itu mengalir turun dan menetes dari jemariku membuatku tersadar bahwa kenyataan ini terjadi lagi. Tali yang seakan-akan mencekik leherku ini semakin erat dan mungkin, tak lama lagi semuanya akan berakhir. Air mataku mengalir di pipiku ketika aku menyadari bahwa aku tak lagi sanggup menghadapinya.


         Mungkin sulit bagi kalian untuk memahami apa yang kurasakan saat itu, namun bayangkan jika semua hal buruk ini terus terjadi dan terjadi dalam hidupmu. Setiap kali aku merasa lebih baik, hal yang lebih buruk justru datang. Aku tersungkur dalam depresi karena aku tak mampu melihat ada jalan keluar dari semua ini. Fakta bahwa tiap kali aku mencoba memperbaiki keadaan, justru keadaan itu malah bertambah buruk, membuat jiwaku serasa remuk redam.


         "Apa gunanya semua ini! Biarkan saja aku mati!" aku mengigau di tengah tangisanku. Keputusasaanku kini justru bertambah semakin dalam, hanya beberapa detik setelah tadi aku merasa harapanku terangkat oleh tindakan orang tuaku membawaku ke sini. Ketika orang tuaku kembali ke mobil bersama kakek-nenekku, aku mulai panik. Aku duduk di kursi belakang dengan darah menetes dari leherku dan air mata mengalir di wajahku.


"Apa yang terjadi?"


"Katakan sesuatu, Nak?"


"A .. aku sudah tak kuat lagi ..."


"Tomohiko, kumohon sadarlah!"


Semuanya berbicara bersamaan dan segalanya terasa terlalu berat bagiku. Aku mulai merasa marah dan akhirnya aku meledak.


"TUTUP MULUT KALIAN! DIAAAAAM!!!"


         Apa yang harus aku katakan? Mereka tak bisa melakukan apapun untuk menolongku dan sudah jelas bahwa aku juga tak mampu menyelamatkan diriku sendiri. Berteriak tak takkan mengatasi masalah dan justru membuatku merasa lebih buruk. Aku tahu bahwa tak sepantasnya aku membentak orang-orang yang lebih tua dariku, namun aku merasa sangat kacau saat itu. Aku berhenti kerja dan orang tuaku hampir kehilangan banyak uang. Aku meringkuk di kursi dan mulai menyesal telah kehilangan kendali tadi. Aku telah menyebabkan banyak masalah bagi orang-orang yang kucintai, namun mereka selalu saja berusaha sebaik mungkin untuk menolongku. Memikirkannya sekarang membuatku merasa malu dan aku pantas untuk mendapatkan apa yang terjadi setelahnya.


         Ayahku tak pernah menaikkan tangannya ke arahku seumur hidupnya. Namun di saat ia menampar pipiku, rasanya sangatlah sakit. Dan rasa sakit itu membuatku melupakan rasa perih yang menyayat leherku. Aku sering bertengkar dengan ayahku, namun belum pernah sekalipun ia lepas kendali dan memukulku.


         "Minta maaf pada kakek dan nenekmu!" ia berkata dengan dingin. Entah bagaimana, perbuatan dan perkataannya justru menenangkanku. Rasa putus asaku sejenak lenyap dan aku mulai bisa menenangkan diriku untuk meminta maaf pada keluargaku. Tekadku untuk menyelesaikan semua masalah ini bangkit kembali. Aku kembali menangis ketika melihat kakekku menangis dan mulai menyemangatiku ketika kami menuju ke kediaman Miss Akagi. Aku merasa sangat menyedihkan saat itu.


         Ketika kami tiba di kuil dimana Miss Akagi tinggal, aku merasa seperti beban di pundakku terangkat. Tak ada yang terjadi yang membuatku merasa seperti itu, namun aku berasumsi bahwa semuanya akan baik-baik saja begitu kami tiba di sini. Ketika kami berjalan menuju gerbang kuil, kami disambut oleh seorang lelaki separuh baya. Aku mendapat kesan bahwa kediaman Miss Akagi sering mendapatkan pengunjung dan kakekku sepertinya salah satu dari mereka.


         Kami diantar menuju ke belakang rumah dan masuk lewat sana. Kami diantar ke sebuah altar Buddha berukuran besar dimana Miss Akagi sedang berdoa. Ia berlutut dengan bantal menyangga kakinya di depan altar. Dia memalingkan wajahnya dengan perlahan ke arah kami dan menunggu seseorang untuk mengatakan sesuatu.


"Tomohiko, tak apa. Miss Akagi akan merawatmu." Nenekku mendorongku ke arah Miss Akagi.


"Sudah cukup lama, bukan? Kau sudah tumbuh sangat besar sejak terakhir kali kita berjumpa. Kau terlihat sangat tampan, Nak. Waktu benar-benar berlalu sangat cepat." Ia tersenyum dengan ramah.


"Anda bisa merawat dia, bukan?" tanya nenekku, "Ia akan baik-baik saja?"


"Tentu saja dia akan baik-baik saja," kakekku berkata pada nenek, "Kita baru saja tiba di sini. Berilah waktu bagi Miss Akagi, beliau belum tahu apa yang terjadi padanya."


"Sayang, diamlah." balas nenekku, "Aku tak bisa berhenti khawatir pada Tomohiko, kau tahu itu."


         Aku tak mengerti mengapa, namun hanya dengan berdiri di depan Miss Akagi membuatku merasa aman. Aku merasa semua energi negatif yang ada dalam diriku seakan terusir keluar tiap kali aku menghela napas di hadapannya. Dan orang tuaku juga nampaknya merasakan hal yang sama, walaupun rasa lelah masih jelas tergambar di wajah mereka.


         "Kalian berdua pasti sudah sangat capek setelah bekendara ke sini selama semalaman," kakekku pasti juga menyadari raut lelah di wajah orang tuaku, "Biarkan Miss Akagi melakukan keahliannya. Kalian berdua beristirahatlah di ruangan sebelah."


Orang tuaku hanya mengangguk dan menuruti nasehat beliau.


"Nah," Miss Akagi memanggilku dengan lambaian tangannya, "Tomohiko, ke sinilah!"


         Aku berlutut di depannya, mencoba sebaik mungkin meniru posisinya. Beliau kemudian menoleh ke arah kakek dan nenekku. "Aku akan meminta kalian untuk pergi ke ruangan sebelah. Tak apa-apa bukan? Aku harus berbicara empat mata dengan cucu kalian. Jangan khawatir, aku akan menjaganya. Dan jangan kembali ke sini kecuali jika aku memanggil cucu kalian, mengerti?"


"Tolong jagalah dia." kakekku membungkuk.


         "Tomohiko, jangan khawatir!" nenekku masih berusaha memberiku semangat ketika ia berjalan meninggalkan ruangan, "Miss Akagi tahu apa yang beliau lakukan. Lakukan saja semua yang beliau katakan!"


Ketika mereka menutup pintu di belakang mereka, aku bisa melihat mereka berurai air mata.


         Begitu mereka tak terlihat lagi, Miss Akagi mendekat ke arahku hingga kedua lutut kami bersentuhan. Ia mengenggam tanganku dan dengan hening menatap wajahku. Untuk suatu alasan, aku merasa bahwa ia hampir seperti orang tua bagiku. Aku merasa seperti kembali menjadi anak kecil dan aku tak bisa berhenti mengusir perasaan bahwa ia sedang menatapku dengan matanya yang bijaksana. Walaupun tubuhnya lebih mungil daripada aku, aku merasa sangat kecil di hadapan kekuatannya yang sangat besar.


"Apa yang harus kulakukan denganmu ..." aku tak punya jawaban atas pertanyaan itu, jadi aku hanya terdiam. Dia terus menatapku dan berkata kembali, "Tomohiko, apa kau takut?"


" ... ya ..."


"Aku sudah menduganya ... kau tahu, keadaan tak bisa terus-terusan seperti ini ... " ia menatapku dengan sungguh-sungguh.


"Apa?"


"Oh, jangan khawatirkan itu .... aku hanya bicara pada diriku sendiri."


Apa maksudnya? Jangan khawatirkan ini, jangan khawatirkan itu ... aku mulai ketakutan lagi dan aku tak sanggup lagi menahan emosiku.


         "Uh, apa yang harus saya lakukan? Saya harap anda dapat menolong saya," begitu saya mulai mengucapkannya, kata-kata itu terus meluncur, " ... dan saya ingin tahu makhluk apakah ini? Mengapa ia menempel pada saya? Saya ingin ini segera diakhiri. Bisakah anda melakukannya?"


"Tomohiko ..."


         "Aku tak melakukan kesalahan apapun!" rasa iba yang terpancar di mata beliau sama sekali tak membuatku tenang dan keputus-asaanku kembali terbit. "Maksudku, aku memang pergi ke tempat berhantu itu, namun bukan hanya saku. Ada orang lain di sana! Mengapa hanya aku yang harus mengalami semua ini? Apa karena aku melakukan hal tolol di depan cermin itu? Apa itu sebabnya? Aku sama sekali tak mengerti! Mengapa ini terjadi padaku? Mengapa???"


"Keeeeeeahhhh .... paaaaaaaaaah ..... keaaaaaaaaaaah .....yaaaaaaaaaaah ..... paaaaaaaaaaaaah ...."


Suara itu membuatku hampir melompat ketakutan. Aku tak tahu apa yang terjadi dan aku tak tahu apa yang coba dikatakannya, sebab suara itu sangatlah ganjil dan aneh.


         "Keeeeeeeeeaaaaaaah .... paaaaaaaaah ... " suaranya hampir seperti parkit, naik dan turun dengan intonasi yang benar-benar membuatku telingaku hampir tuli. Suara itu terus-menerus terulang dan akhirnya aku mengerti apa yang coba dikatakannya.


Kenapa? Kenapa? Kenapa?


         Aku menatap Miss Akagi dan melihat bahwa ekspresi ramahnya sudah menghilang dari wajah beliau. Seakan-akan jiwanya sudah keluar dari tubuhnya dan tak berada lagi di sana. Dari sudut pelupuk mataku, aku dapat mengatakan ada sesuatu yang berada di ruangan ini selain kami.


Ketika aku bergerak, darah kembali menetes dari leherku.


         Makhluk itu ada di sana. Ia merangkak sambil menatap wajahku. Aku tak punya bayangan apa yang sedang terjadi atau apa yang Miss Akagi sedang lakukan. Aku berada di dalam kuil, di hadapan seorang bikusini, namun entah bagaimana caranya, monster itu berada hanya beberapa jengkal jaraknya dariku.


Ia melakukan apa yang ia lakukan di apartemenku malam itu. Matanya sejajar dengan mataku dan kepalanya berputar seperti burung hantu. Ia tampak kebingungan.


"Kena-pa? Kena-pa? Kena-pa?" suarnya yang seperti jeritan burung liar itu seakan mengiris telingaku, terus menayakan hal yang berulang kali.


         Aku berani bertaruh inilah suara yang didengar Hayashi ketika ia mencoba mengusirnya. Mungkin makhluk itu tak mengatakan hal yang sama dengannya, namun ia pasti mendengar suara yang sama mengerikannya dengan ini. Tenggelam dalam ketakutan, aku serasa berhenti bernapas. Mataku melebar dan mulutku membuka. Paru-paruku seakan mengais-ais udara, namun aku tak mampu bernapas dalam-dalam. Leherku terasa dicekik.


         Ketika aku melihat gerakan tubuhnya yang patah-patah, aku menyadari tangannya bergerak mendekati wajahnya. Jari-jarinya mencoba mencabik kertas-kertas mantera yang menempel di wajahnya. Aku tahu jika kertas-kertas mantera itu terlepas, sesuatu yang sangat buruk akan terjadi. Detak jantungku makin kencang ketika aku melihat ujung rahangnya.


         Aku mencoba berteriak agar ia menghentikannya, namun aku tak mampu bersuara sedikitpun. Napasku tersengal-sengal, bayangan tentang apa yang akan terjadi apabila ia melepas kertas-kertas manteraku itu dengan liar berkecamuk di kepalaku. Jantungku bergedup teramat kencang sehingga aku bisa mendengarnya di telingaku dan tiba-tiba ...


BANG!


         Secara harfiah, aku terlempar ke udara ketika aku mendengar suara itu. Aku mengira jantungku telah melompat keluar. Karena caraku duduk, aku hampir terjatuh, namun aku akhirnya mampu menyeimbangkan driku dan berusaha kabur dari ruangan itu. Walaupun aku sekeras mungkin mencoba untuk berlari, namun tubuhku terjerembab dan akupun terjebak di sana. Kakiku menolak untuk bergerak. Aku terus mencoba merangkak dan menoleh untuk melihat apakah ia mengejarku. Namun kemudian ...


DUK!!!


         Kepalaku menghantam dinding, sangat keras. Rasa takutku menelan semua rasa sakitku sehingga aku tak merasakan apapun. Yang kutahu berikutnya, darah mengalir dari pelipisku dan menetes di alis mataku. Namun yang lebih kupedulikan saat itu adalah segera kabur dari makhluk itu ketimbang apapun.


         Darah yang mengalir ke mataku mulai membutakanku. Aku mulai bisa bergerak dan mengulurkan tanganku, mencoba mencari pintu. Namun sekeras apapun aku mencoba, aku tetap tak bisa menemukan jalan keluar.


         "Kau tak bisa pergi sekarang!" teriak Miss Akagi. Suara itu cukup untuk menghentikanku untuk melarikan diri dari ruangan itu. Aku membeku di sana dan mencoba untuk menguasai keadaan. Akupun mencoba untuk mengikuti perintah Miss Akagi, apapun itu. Sebab mungkin itu satu-satunya jalan keluar.


         Ketika aku mengusap darah dari mataku, aku melihat bahwa orang tuaku mencoba mendobrak masuk ke ruangan. Mungkin saja perintah Miss Akagi tadi ditujukan pada kedua orang tuaku yang meninggalkan ruangan mereka dan mencoba masuk ke sini. Miss Akagi menunggu sejenak hingga aku siap mendengarkan apapun perkataannya.


         "Maaf, Tomohiko. Pasti tadi sangat menakutkan bagimu ya? Sekarang sudah baik-baik saja. Kembalilah ke sini." beliau kemudian berpaling ke arah orang tuaku yang kini berdiri di depan pintu. "Sekarang sudah tak apa-apa. Kembalilah dan biarlah saya menyelesaikan ini semua."


         Aku bisa mendengar mereka berbicara di balik pintu, walaupun aku tak bisa menerka apa yang mereka katakan. Aku kembali menuju ke tempat Miss Akagi duduk dan beliau mengulurkan sebuah sapu tangan untuk mengusap darah dari wajahku. Sapu tangan itu terasa harum saat kugunakan. Aku duduk bersila kembali dan menyadari bahwa suara "Bang!" yang kudengar tadi bukan berasal dari iblis itu, melainkan dari Miss Akagi yang memukulkan tangannya ke tatami.


"Tomohiko, apa kau mendengarnya? Apa kau melihatnya?"


"Aku melihatnya." Aku menelan ludahku. "Ia menanyakan kepadaku, 'Kenapa, kenapa ... ' terus menerus."


         Wajah Miss Akagi menjadi teduh. Aku terus mencoba untuk tetap tenang di depan Miss Akagi, meskipun aku baru saja mengalami pertemuan yang mengerikan dengan makhluk itu. Kini aku harus melakukan apapun yang harus kulakukan untuk mempermudah mengusir iblis itu dari hidupku.


"Benar katamu," beliau mengangguk, "Ia terus bertanya 'Mengapa?'. Mengapa menurutmu ia bertanya seperti itu?"


"Uh ... saya tak tahu. Apa seharusnya saya tahu?" aku tak memiliki ide sama sekali.


"Tomohiko, apa kau takut?"


"Ya, saya masih takut sekarang." aku mengalihkan wajahku dari beliau karena merasa malu.


"Kenapa?"


         "Well ... semua ini sangatlah aneh bagiku. Hantu dan semuanya, maksud saya ..." aku tak tahu apa lagi yang harus kukatakan. Aku merasa Miss Akagi mencoba membuatku mengerti sesuatu, namun aku hanya tak memahaminya.


"Apa dia melakukan sesuatu kepadamu?"


         "Yah, kurasa ..." aku dulu yakin dia mencoba menyakitiku, namun kini aku tak yakin. Kepalaku yang berdarah juga bukan karena perbuatan hantu itu. Itu karena kecerobohanku akibat kepanikanku sendiri. "Leherku berdarah dan sepertinya tadi ia mencoba melepas jimat dari wajahnya."


"Ya, aku ingat. Aku juga melihatnya. Tapi apa ada sesuatu yang lain terjadi?"


Aku sama sekali tak bisa menjawabnya. Aku tak yakin harus menjawab apa.


"Aku tahu Nak, situasi ini amat berat untuk dijalani ..."


"Maaf, saya benar-benar tidak tahu ..."


"Tak apa-apa." beliau mulai menjelaskan agar segalanya terdengar masuk akal bagiku. Mungkin mengatakan bahwa beliau sedang "menguliahiku" adalah istilah yang tepat.


         Pertama dan yang paling penting, makhluk yang baru saja menampakkan diri tadi adalah semacam roh atau lebih tepatnya monster. Aku bertanya apa ia jahat, namun beliau tampaknya tidak memiliki jawaban yang jelas atas pertanyaan itu. Beliau mendapat kesan yang jelas bahwa makhluk itu semacam roh yang "gelap", namun beliau tak merasakan hal-hal yang "kejam" dari makhluk itu.


         "Bahkan jika suatu roh tidak bermaksud jahat, hal-hal seperti ini bisa terjadi jika mereka terlalu kuat." Beliau menjawab, "Wanita itu ... roh itu ... sudah sendirian sejak waktu yang sangat lama. Ia melewati waktu bertahun-tahun, ingin agar seseorang berbicara dengannya, menyentuhnya, melihatnya, atau hanya sekedar menyadarinya. Roh itu melihatnya dalam dirimu dan ketika kau memperhatikannya, ia menjadi sangat senang. Nah sekarang, jangan salah paham akan apa yang akan kukatakan, namun dibandingkan wanita itu, kau lebih lemah. Karena itulah kau merasa takut dan karena itu pulalah tubuhmu bereaksi sangat kuat jika ia hadir." Cara beliau berbicara sangatlah tenang dan perlahan, seakan ia berbicara dengan seorang anak kecil.


         Aku masih tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku dulu berpikir roh itu jahat, namun kini setelah mendengar penjelasan Miss Akagi ... ah, aku tak tahu apakah yang dikatakan Miss Akagi itu benar ataukah ia hanya mencoba membuatku tak merasa takut lagi.


         "Nah, sekarang mari kita lakukan sesuatu untukmu. Ini akan memakan waktu, namun yakinlah ... aku pasti menolongmu!" kata-kata itu membuatku merasa lebih baik. Aku merasakan kelegaan ketika aku mendengar ada harapan untuk lepas dari ini semua. Aku akan menulis di sini apa yang beliau katakan kepadaku. Aku takkan melupakan kata-kata ini.


         "Jika sesuatu terlalu menakutkan untuk dilihat, atau kau tak mengerti apa itu, ingatlah bahwa ia merasakan rasa sakit, sama seperti yang bisa kau rasakan. Raihlah dan cobalah tolong dia. Mungkin itulah yang ia tunggu-tunggu selama ini."


         Miss Akagi mulai membaca kitab suci. Tak seperti apa yang kuduga, ternyata beliau tidak sedang mengusir roh itu, melainkan untuk membuatnya tenang.


         Malam itu, kepalaku teramat sakit dan leherku terasa seperti terbakar, namun aku tertidur sangat nyenyak. Miss Akagi membiarkanku menginap di sana karena yah, menurut beliau aku masih bertingkah sangat aneh.


========= Bersambung =========


Semoga Tomohiko akan membaik. Dan jangan lupa untuk berdoa sebelum tidur.